Rabu, 03 Agustus 2011

Jangan Korbankan Nilai Moral

MULYOTO

Dunia pendidikan kita, kini telah banyak kehilangan nilai moral. Lihat saja, banyak praktik dalam dunia pendidikan yang justru membuat anak belajar untuk curang, tidak jujur, dan malas.

Contoh paling nyata betapa sekolah telah kehilangan nilai moral adalah fenomena kecurangan saat ujian nasional. Karena khawatir ada siswa yang tidak lulus, atau khawatir nilai ujian nasional yang diperoleh kalah dengan sekolah lain, diterapkanlah praktik perjokian, pencurian soal, hingga yang kini masih menjadi pembicaraan aktual: mencontek massal.

Kasus-kasus yang terungkap hanyalah contoh yang kelihatan. Kecurangan sebenarnya mungkin lebih besar dari yang terungkap di media massa. Ya, seperti layaknya gunung es saja. Yang kelihatan hanya beberapa bagian, padahal bagian yang lebih besar tertutup dari pandangan.

Kadang, saya merasa miris merasakan aroma kebobrokan moral dalam dunia pendidikan kita. Saat kegiatan pembelajaran di kelas satu dan dua, dengan susah payah kita berusaha menggali nilai-nilai didik dari setiap mata pelajaran yang kita berikan. Kita mengajar tidak semata-mata berusaha membuat anak didik tahu, tapi juga memiliki sejumlah kecakapan hidup, memiliki sikap dan perilaku luhur dan menginternalisasi nilai-nilai budi pekerti. Meminjam adagium dalam dunia pendidikan, kita ingin mendewasakan manusia menjadi manusia yang baik, bertanggung jawab dan mandiri.

Namun, di akhir tahun, ketika ujian nasional datang, nilai-nilai moral itu seolah sirna. “Persetan dengan kejujuran. Persetan dengan prinsip-prinsip obyektivitas dan keadilan. Yang penting semua siswa bisa lulus. Yang penting nilai rata-rata sekolah terdongkrak sehingga bisa mencapai rangking tinggi di tingkat propinsi. Yang penting gengsi dan prestise sekolah menanjak, tak peduli dengan menjunjung tinggi sportivitas.”

Begitulah yang terjadi.

Hemat saya, dekadensi moral dalam dunia pendidikan ini layak kita cermati dampaknya. Kita mesti sadar bahwa praktik pembelajaran yang tidak menjunjung nilai-nilai moral akan berdampak pada karakter generasi muda kita. Kecurangan dalam ujian nasional sebagai salah satu contoh jelas telah mematikan sikap jujur, ulet, teliti, dan adil dalam diri siswa.

Di lain pihak, di luar dunia pendidikan, anak didik kita juga melihat praktik kecurangan dengan amat nyata saat korupsi merajalela. Sebut saja kasus Gayus Tambunan, Nazarudin, dan Nunun Nurbaeti. Kasus-kasus korupsi yang melibatkan para punggawa negara ini disiarkan secara intens oleh media televisi dan cetak sehingga lengkaplah sudah media pembelajaran praktik kecurangan bagi anak didik kita.

Anak-anak berpikir, berbuat curang itu bukan suatu masalah. Toh, di sekolah mereka diajari melakukan itu. Di masyarakat, para pejabat negara, juga melakukan hal yang sama. Wah, akan jadi apa bangsa ini ke depan kalau semua kebobrokan ini tidak segera diperbaiki?

Sebagai seorang guru, saya tidak dapat berbuat apa-apa selain berseru: marilah kita kembalikan nilai-nilai moral dalam praktik pendidikan kita. Marilah kita berantas kecurangan dalam pelaksanaan ujian nasional! Juga, mari kita berantas korupsi dalam masyarakat kita!

Sekolah merupakan lingkungan pendidikan, tempat para anak bangsa menempa diri. Mari tempa mereka dengan pengalaman-pengalaman bermakna yang mampu mengembangkan seluruh potensi mereka: kognisi, afeksi dan psikomotori. Kita fasilitasi mereka dengan program pembelajaran yang memberdayakan, yang menyulut potensi-potensi yang masih terpendam. Yang menggerakkan mereka untuk melakukan kegiatan belajar sepanjang hayat, secara mandiri.

Tempa mereka dengan kehidupan yang menjunjung moralitas: kejujuran, keuletan, kerja keras, dan sikap sportivitas! Hingga suatu saat, kelak mereka menjadi insan yang berguna, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi masyarakat dan bangsanya.

Saya sangat apresiatif terhadap kisah Laskar Pelangi yang ditulis oleh Andrea Hirata (Bentang Pustaka, Yogyakarta, 2005). Dilukiskan, sebuah sekolah marjinal di Pulau Belitung yang hanya punya siswa sepuluh orang dengan guru dua orang, mampu membuktikan bahwa sebuah kederhanaan, kejujuran, dan moralitas ternyata mampu mengantarkan anak didik kita kepada jati dirinya masing-masing. Bahkan pencapaian itu jauh melebihi batas kenyataan yang dapat dibayangkan.

Dengan rendah hati, Bu Muslimah yang dihadirkan di acara Kick Andi mengatakan. ”Saya ini hanya seorang guru desa. Saya tidak sehebat yang diceritakan dalam novel ini.”

Tapi jelas satu hal yang dimiliki oleh sosok guru ini: keikhlasan. Sebuah moralitas tertinggi yang dimiliki oleh manusia.

MULYOTO, guru matematika SMK Negeri 1 Pungging Mojokerto.

Ayo Kita Selamatkan Ekosistem Kali Brantas

MULYOTO

Bahaya! Ternyata, Kali Brantas tidak hanya terancam oleh ulah penambang pasir liar yang mengeruk pasir seenaknya dengan mesin penyedot, melainkan juga terancam oleh pencemaran. Penelitian yang dilakukan Ecoton (Ecological Observation and Wetlands Concervation) dan Jasa Tirta II menemukan fakta bahwa telah terjadi penurunan kualitas populasi ikan di Kali Brantas, baik dalam hal jumlah maupun jenisnya. Bahkan, di sepanjang Rolak Songo Mojokerto hingga daerah Gayungsari ditemukan beberapa ikan mengalami bibir sumbing, warna ikan cenderung menguning, dan perubahan ikan dari jantan menjadi betina. Untuk kasus terakhir, kemungkinan penyebabnya adalah limbah pil KB (Surya, 13 Juli 2011).

Fakta-fakta itu merupakan sinyalemen bahwa Kali Brantas mengandung zat pencemar dalam kategori berat karena dalam dua tahun saja, penurunan kualitas populasi begitu drastis. Kalau pada tahun 2009 jumlah ikan yang teridentifikasi masih ada 23 jenis, kini pada tahun 2011 tinggal 11 jenis saja. Jenis yang lain mungkin telah punah.

Sumber pencemar Kali Brantas ada dua yaitu industri dan rumah tangga. Penulis pernah menelusuri sepanjang bantaran sungai terbesar di Jawa Timur itu dan melihat cukup banyak industri yang membuang limbah ke sungai. Selain itu, juga banyak warga yang membuang limbah rumah tangga di situ, mulai dari sisa makanan, plastik, kertas, deterjen, logam dan obat-obatan. Ini merupakan ekses dari sungai yang melintasi kawasan industri dan padat penduduk. Seolah, sungai adalah ekosistem paling aman untuk mendaur ulang segala macam limbah.

Kalau jumlahnya masih dalam batas wajar, mungkin tak menjadi masalah. Akan tetapi, ketika jumlah limbah dan jenisnya telah melawati ambang batas kemampuan, tentu akan menjadi beban berat bagi sungai. Sungai tak lagi mampu menguraikan limbah-limbah itu. Dampaknya, ekosistem dan keanekaragaman hayati sungai menjadi terganggu.

Saat sungai masih menjadi sumber penghasil ikan, pencemaran sungai tentu wajib diwaspadai. Zat-zat berbahaya yang terakumulasi di dalam tubuh ikan bisa meracuni manusia dan pada gilirannya akan menimbulkan berbagai macam penyakit. Apalagi, dari sungai ini pula jutaan masyarakat menggantungkan diri untuk memenuhi sumber air bersih sehari-hari. Zat aditif berbahaya yang terakumulasi di daerah muara juga akan merusak ekosistem mangrove dan terumbu karang di dekat pantai.

Masalahnya, bagaimana menindaklanjuti hasil penelitian Ecoton dan Jasa Tirta itu?

Tak ada pilihan lain. Tindak pencemar sungai, baik industri maupun masyarakat yang tinggal di sekitar bantaran sungai! Industri yang membuang limbahnya ke sungai harus selalu dipantau agar mengamankan dulu limbah itu sebelum mengalirkannya ke sungai. Sedangkan warga harus senantiasa disadarkan dengan gerakan pendidikan lingkungan hidup yang memadai agar mereka tidak sembarangan membuang limbah. Keduanya harus diimbangi dengan tindakan keras terhadap para pelanggar. Para pelanggar mesti diberi sanksi hukum yang tegas sebagaimana diatur undang-undang maupun perda.

Selama ini, Kali Brantas memang menjadi wilayah kewenangan provinsi dalam pengelolaannya. Tetapi, karena pemerintah yang paling dekat dengan daerah aliran sungai adalah pemerintah daerah, ada baiknya keterlibatan pemerintah daerah diperkuat, utamanya untuk memantau sungai dan menindak pencemar secara rutin. Kita bisa mengoptimalkan peran Dinas Kependudukan dan Lingkungan Hidup (KLH) yang biasanya selalu ada di tiap daerah kabupaten atau kota.

Kalau tidak ada tindak lanjut yang efektif, kita bakal menyaksikan ekosistem sungai merana, dan puncaknya, kita juga yang menderita.

Mulyoto S.Pd, M.si, Guru SMK Negeri 1 Pungging