Minggu, 10 Februari 2008

Mengembalikan Nilai Moral dalam Dunia Pendidikan Kita

MULYOTO

Dunia pendidikan telah kehilangan nilai-nilai moralitas. Lihat saja, banyak praktik dalam dunia pendidikan yang justru membuat anak belajar untuk curang, tidak jujur, dan malas. Anak juga bisa merasakan bagaimana praktik kolusi, korupsi dan nepotisme telah pula masuk dalam denyut nadi dunia pendidikan kita. Pungutan uang sekolah yang harus dibayar oleh orang tua mereka lebih sering tidak diketahui “jluntrungnya”. Tidak ada mekanisme yang bisa menjamin akuntabilitasnya.

Contoh lain paling nyata betapa sekolah telah kehilangan nilai moralitas adalah fenomena kecurangan saat ujian nasional. Karena khawatir ada siswa yang tidak lulus, atau khawatir nilai ujian nasional yang diperoleh kalah dengan sekolah lain, diterapkanlah praktik perjokian. Seorang kepala sekolah di Ngawi tahun lalu bahkan nekat mencuri naskah soal ujian demi mengejar prestasi anak didiknya dengan cara curang. Berbagai kecurangan dalam ujian nasional terkesan sangat sistematis, artinya memang telah dirancang sedemikian rupa dengan melibatkan seluruh komponen: panitia, guru pengawas, tim pemantau independen, bahkan birokrasi pendidikan.

Kadang, saya merasa miris menyaksikan kebobrokan moral dalam dunia pendidikan kita. Saat kegiatan pembelajaran di kelas satu dan dua, dengan susah payah kita berusaha menggali nilai-nilai didik dari setiap mata pelajaran yang kita berikan. Kita mengajar tidak semata-mata berusaha membuat anak didik tahu, tapi juga memiliki sejumlah kecakapan hidup, memiliki sikap dan perilaku luhur dan menginternalisasi nilai-nilai budi pekerti.

Namun di akhir tahun, ketika ujian nasional datang, nilai-nilai moral itu seolah sirna. Persetan dengan kejujuran. Persetan dengan prinsip-pronsip obyektivitas dan keadilan. Yang penting semua siswa bisa lulus. Yang penting nilai rata-rata sekolah terdongkrak sehingga bisa mencapai rangking tinggi di tingkat propinsi. Yang penting gengsi dan prestise sekolah menanjak, tak peduli dengan menjunjung tinggi sportivitas. Tak peduli betapa pentingnya nilai sebuah kejujuran. Begitulah yang terjadi.

Hemat saya, dekadensi moral dalam dunia pendidikan kita layak kita cermati dampaknya. Kita mesti sadar bahwa praktik pembelajaran yang tidak menjunjung nilai-nilai moral akan berdampak pada karakter generasi muda kita. Kecurangan dalam ujian nasional sebagai salah satu contoh jelas telah mematikan sikap jujur, ulet, teliti, dan adil dalam diri siswa.


Di lain pihak, di luar dunia pendidikan, anak didik kita juga melihat praktik kecurangan dengan amat nyata saat korupsi merajalela. Kasus korupsi yang melibatkan para punggawa negara disiarkan secara intens oleh media televisi dan cetak sehingga lengkaplah sudah media pembelajaran praktik kecurangan bagi anak didik kita.

Anak-anak berpikir, berbuat curang itu bukan suatu masalah. Toh, di sekolah mereka diajari melakukan itu. Di masyarakat, para pejabat negara, juga melakukan hal yang sama. Akan jadi apa bangsa ini kalau semua kebobrokan ini tidak segera diperbaiki?

Sebagai seorang guru, saya tidak dapat berbuat apa-apa selain berseru: marilah kita kembalikan nilai-nilai moral dalam praktik pendidikan kita. Marilah kita berantas kecurangan dalam pelaksanaan ujian nasional! Juga, mari kita berantas korupsi dalam manajemen sekolah kita! Kita mulai dari diri kita sendiri, di sekolah kita sendiri.

Sekolah merupakan lingkungan pendidikan, tempat para anak bangsa menempa diri. Mari tempa mereka dengan pengalaman-pengalaman bermakna yang mampu mengembangkan seluruh potensi mereka: kognitif, afektif dan psikomotorik! Kita fasilitasi mereka dengan program pembelajaran yang memberdayakan, yang menyulut potensi-potensi yang masih terpendam. Yang menggerakkan mereka untuk melakukan kegiatan belajar sepanjang hayat, secara mandiri.

Tempa mereka dengan kehidupan yang menjunjung moralitas: kejujuran, keuletan, kerja keras, dan sikap sportivitas. Hingga suatu saat, kelak mereka menjadi insan yang berguna, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi masyarakat dan bangsanya.

Saya sangat apresiatif terhadap kisah Laskar Pelangi yang ditulis oleh Andrea Hirata (Bentang Pustaka, Yogyakarta, 2005). Sebuah sekolah marjinal di Pulau Belitung yang hanya punya siswa sepuluh orang dengan guru dua orang, mampu membuktikan bahwa sebuah kederhanaan, kejujuran, dan moralitas ternyata mampu mengantarkan anak didik kita kepada jati dirinya masing-masing. Bahkan pencapaian itu jauh melebihi batas kenyataan yang dapat dibayangkan. Andrea Hirata, Sang Penulis hanyalah anak seorang pegawai rendah di PN Timah saat itu. Namun, toh kini dia berhasil melanjutkan studi S2 hingga ke Perancis dan Inggris, bekerja di Telkom Pusat (Bandung), dan menjadi penulis terkenal.

Dengan rendah hati, Bu Muslimah yang dihadirkan di acara Kick Andi mengatakan. ”Saya ini hanya seorang guru desa. Saya tidak sehebat yang diceritakan dalam novel ini.” Tapi jelas satu hal yang dimiliki oleh sosok guru ini: keikhlasan.

Sebuah moralitas tertinggi yang dimiliki oleh manusia.