Selasa, 20 Juli 2010

Kekerasan dalam Dunia Pendidikan

Mulyoto

Saya tidak menyangka kalau MOS (Masa Orientasi Siswa)yang dilimpahkan kepada siswa senior dari unsur OSIS dan organisasi siswa bidang bakat, akhirnya hingga seperti ini. Nuansanya bukan lagi orientasi sebagai pembekalan siswa baru untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru, tetapi malah nuansa kekerasan dalam berbagai tingkatan.

Sebuah kenyataan pahit aku alami tahun lalu. Dalam setiap hari MOS tidak kurang 10 anak mengalami kesrurupan. Maka mau tidak mau harus ada pengeluaran dana di luar anggaran: beaya jasa paranormal. Ada sebuah kisah lucu. Salah seorang yang kesrupan itu tidak sembuh-sembuh setelah ditangani orang pinter. Kata Bapak Kepala Sekolah, wah roh yang merasukinya bandel, nih. Mesti dipanggilkan Pak Yai. Tapi masih juga anak itu berteriak-teriak histeris.

Usut punya usut, ternyata si anak bukan kesurupan, tapi depresi. Saran Pak Yai, jauhkan dari kakak senior. Dan ternyata benar. dalam waktu singkat, si anak langsung diam dan bisa diajak bicara. Tidak berteriak-teriak lagi. Rupa-rupanya dia langsung tegang dan depresi setiap melihat sosok sang senior.

Saya mengusulkan, perploncoan dan bentakan-bentakan keras, bahkan hukuman fisik harus dihentikan. Caranya, mulai tahun depan harus diambil alih oleh guru. Libatkan siswa senior secara minim. Baru MOS bisa dikembalikan pada koridor yang benar. Selama tidak diambil alih, maka kekerasan demi kekerasan akan terus berlanjut turun temurun. Makin tahun makin meningkat tingkat kerasnya, seiring dengan makin kreatifnya sang senior.

Namun usulan saya hingga sekarang masih belum dianggap masuk akal. Saya hingga sekarang berandai-andai, andaikan MOS dijadikan sebagai media aktualisasi diri bagi senior dalam bentuk kegiatan kreatif namun bernuansa peace, unjuk prestasi, dan bukan unjuk kekerasan dan kekuasaan.