Berbicaralah pada angin siang
Saat kita jumpa, aku tak berharap apa-apa
Selain ada perpaduan pemikiran kita
soal hidup, soal angin yang selalu menyapa
Anak-anakku,
Aku telah bertekad menjadi guru di antara kalian
Namun, jangan berharap terlalu banyak padaku
Aku bukanlah penguasa peta negeri antah berantah
bukan penunjuk jalan bagimu
Aku anggap saja sebagai teman ngobrol soal rumus phytagoras
atau soal geometri euclid
Kita ngobrol saja
Jangan banyak berharap padaku
Kamulah yang harus berharap banyak pada dirimu sendiri
Bukankah aku juga tak peranh berharap banyak padamu
Selain, kamu harus selalu berubah
Angin juga berubah
Bumi berubah
Semua berubah
Maka, berubahlah menjadi lebih baik.
Rabu, 04 Maret 2009
Pada Suatu Senja
Pada suatu senja
ketika daun bambu luruh berputar-putar dalam pandang mata nanarku
Kulihat engkau katakan padaku lirih
- Aku ingin mereguk nikmatnya madu cinta bunga melati
Reguk saja, kataku
Daun bambu masih luruh bersama desis angin parau
Aku masih termangu dalam senja biru itu
Biarlah aku mengembara menciumi bukit-bukit hijau
Biarlah aku terbang mengambang di atas awan, ringan
Senja itu, kau bisikkan kata-kata
Aku bisikkan juga ketelingamu
Birakan angin kering menyapa kita
Kita tetap tertawa, seperti biasa
Kita tetap mandi di kali: lepas seluruh baju, lalu berlari dan terjun bebas di atas riuh sungai
Bebasnya kita saat itu
Seperti burung emprit bergerombol
mencuri bulir padi pak tani
lalu kita bisa terbang ke mana kita suka
Ah, rasanya aku ingin kembali
membaui lumpur kampung malasan di Trenggalek
Saat ayah ibuku masih muda dan merindukanku untuk senantiasa pulang
Kini kerinduan itu muncul lagi, tapi aku hanya bisa menangis
melihat ayah-ibuku renta
dan aku tak lagi bisa menangkap kerinduannya
Ah, tidak ayah-ibu, aku masih seperti dulu
Aku masih bisa mendengar panggilanmu
ketika daun bambu luruh berputar-putar dalam pandang mata nanarku
Kulihat engkau katakan padaku lirih
- Aku ingin mereguk nikmatnya madu cinta bunga melati
Reguk saja, kataku
Daun bambu masih luruh bersama desis angin parau
Aku masih termangu dalam senja biru itu
Biarlah aku mengembara menciumi bukit-bukit hijau
Biarlah aku terbang mengambang di atas awan, ringan
Senja itu, kau bisikkan kata-kata
Aku bisikkan juga ketelingamu
Birakan angin kering menyapa kita
Kita tetap tertawa, seperti biasa
Kita tetap mandi di kali: lepas seluruh baju, lalu berlari dan terjun bebas di atas riuh sungai
Bebasnya kita saat itu
Seperti burung emprit bergerombol
mencuri bulir padi pak tani
lalu kita bisa terbang ke mana kita suka
Ah, rasanya aku ingin kembali
membaui lumpur kampung malasan di Trenggalek
Saat ayah ibuku masih muda dan merindukanku untuk senantiasa pulang
Kini kerinduan itu muncul lagi, tapi aku hanya bisa menangis
melihat ayah-ibuku renta
dan aku tak lagi bisa menangkap kerinduannya
Ah, tidak ayah-ibu, aku masih seperti dulu
Aku masih bisa mendengar panggilanmu
Sebuah Perjuangan yang Melelakan
Hari ini hari yang melegakan bagi saya. Ibaratnya, saya sedang mencari sumber air di atas bukit, dengan melewati jalanan setapak yang terjal. Berliku hingga membuatku ngo-ngosan. Tapi, hari ini, semua telah terbalas. Aku telah mencapai puncak itu, dan telah kusaksikan air segar jernih menarik selera. Haus rasanya, ingin segera kuteguk air itu. Tapi, ups. Nanti dulu. Sebelum bisa meneguk barang setetes air itu masih ada lagi urusan tetek bengeknya yang masih juga bikin repot.
Itulah gambaran yang aku alami hari ini, ketika akhirnya kabar sertifikasi datang. Aku telah lulus uji sertifikasi lewat jalur portofolio yang melelahkan seperti mendaki bukit terjal. Kini sedikit bisa tersenyum, meski senyum itu baru senyum harap. Pemberkasan untuk mencairkan tunjangan profesi ternyata tak kalah rumitnya dengan portofolio. Harus pakai map begini, harus pakek ini-itu, yang menguras tenaga.
Tapi aku gak boleh ngeluh. Kan di sertifikat udah dinyatakan sebagai GURU PROFESIONAL. Malu, doang. Apalagi, harapan udah diujung mata: tunjangan satu gaji pokok.
Tapi, sebuah paadoks terjadi. Ketika ngurus ini-itu, ternyata harus makan korban, yaitu siswa yang mesti hanya dikasih tugas. Bahkan saking ribetnya, kadang kita sampai lupa gak kasih tugas. Kadang malu juga sih. Apa ini yang namanya profesional.
Maafkan aku, anakku. Guru kan bisa khilaf.
"Gak apa-apa, Pak. Kan enak kalo jam kosong!" seru sebagian besar siswa. Nah, apalagi ini! Aku malu, aku ternyata bukan tipe guru yang selalu dirindukan siswa. Aku masih harus berjuang untuk itu.
Itulah gambaran yang aku alami hari ini, ketika akhirnya kabar sertifikasi datang. Aku telah lulus uji sertifikasi lewat jalur portofolio yang melelahkan seperti mendaki bukit terjal. Kini sedikit bisa tersenyum, meski senyum itu baru senyum harap. Pemberkasan untuk mencairkan tunjangan profesi ternyata tak kalah rumitnya dengan portofolio. Harus pakai map begini, harus pakek ini-itu, yang menguras tenaga.
Tapi aku gak boleh ngeluh. Kan di sertifikat udah dinyatakan sebagai GURU PROFESIONAL. Malu, doang. Apalagi, harapan udah diujung mata: tunjangan satu gaji pokok.
Tapi, sebuah paadoks terjadi. Ketika ngurus ini-itu, ternyata harus makan korban, yaitu siswa yang mesti hanya dikasih tugas. Bahkan saking ribetnya, kadang kita sampai lupa gak kasih tugas. Kadang malu juga sih. Apa ini yang namanya profesional.
Maafkan aku, anakku. Guru kan bisa khilaf.
"Gak apa-apa, Pak. Kan enak kalo jam kosong!" seru sebagian besar siswa. Nah, apalagi ini! Aku malu, aku ternyata bukan tipe guru yang selalu dirindukan siswa. Aku masih harus berjuang untuk itu.
Langganan:
Postingan (Atom)