Selasa, 07 September 2010

Kebijakan Pendidikan: Kita Tidak Pernah Konsisten

Mulyoto

Pemberlakuan Kurikulum Berbasis Kompetensi, hemat saya merupakan sebuah terobosan besar dalam kebijakan pendidikan kita. Dalam kebijakan ini, sebagaimana konsepnya, guru memiliki ruang lebih luas berimprovisasi dalam pembelajaran. Gurulah yang menentukan metode pembelajaran berdasarkan pertimbangan kondisi siswa, situasi lingkungan belajar, fasilitas yang ada, dan hal-hal yang bersifat kontekstual.

Terus terang, pada saat-saat awal KBK ramai dibicarakan, saya termasuk salah satu guru yang sangat antusias menyambut implementasinya. Saya waktu itu membayangkan, saya akan mengembangkan sebuah pembelajaran yang demokratis, pembelajaran yang membebaskan, pembelajaran yang mengembangkan potensi individual anak didik, dan pembelajaran kontekstual yang memberikan makna bagi kehidupan nyata anak didik kita. KBK sudah diterapkan, tetapi pembelajaran yang demikian masih ada dalam bayangan. Saya baru sadar, kebijakan pendidikan kita memang tidak konsisten.

KBK yang konon memberikan ruang luas kepada guru untuk mengembangkan kreativitas dalam membelajarkan siswa ternyata terpasung dengan kebijakan ujian nasional (UN), dengan alasan standardisasi mutu pendidikan. Para ahli pendidikan tahu, ketika KBK diterapkan, maka yang berlaku adalah otonomi guru. Bukan hanya otonomi dalam pembelajaran, melainkan juga otonomi dalam evaluasi terhadap hasil pembelajaran.

Saya kurang setuju dengan pendapat rekan Hendro Martono (Kompas, 13 Februari 2006) yang mensyaratkan pelaksanaan evaluasi pembelajaran harus dilakukan oleh pihak luar. Dalam pandangan rekan Hendro, evaluasi memang sudah seharusnya tidak dilakukan oleh guru sendiri. Seperti uji kompetensi bagi mata pelajaran Diklat Produktif (di SMK), harus melibatkan tim dari pihak dunia industri sebagai assessor. Ini bertujuan menjamin agar sertifikat yang dimiliki siswa nantinya diakui oleh pasar.

Logika inilah yang digunakan oleh rekan Hendro untuk menerima meski dengan berat hati kebijakan ujian nasional. Dengan ujian nasional, hasil kerja guru dalam membelajarkan siswa seolah akan lebih obyektif tergambar dalam bentuk angka-angka rigid. Tidak ada peluang guru untuk mendongkrak nilai atau memanipulasinya.

Hemat saya, tiga hal dalam kegiatan pembelajaran, yakni membuat perencanaan, melaksanakan pembelajaran, dan melakukan evaluasi hasil belajar, merupakan satu kesatuan yang menjadi wilayah operasional guru. Guru membuat rencana pembelajaran dengan mengacu pada kompetensi dasar yang ditetapkan kurikulum, disertai pertimbangan atas permasalahan kontekstual masyarakat, lalu melaksanakan pembelajaran itu.

Meski mengacu pada kompetensi dasar yang sama, bentuk kegiatan pembelajaran antarguru dengan situasi yang berbeda tentu beragam, demikian juga hasilnya. Gurulah yang paling tahu atas kompetensi mana yang harus diuji, bukan pihak luar. Perebutan terhadap kewenangan guru dalam menguji hasil belajar siswa justru menghasilkan sistem evaluasi yang tidak valid karena tidak mengukur kemampuan siswa yang sebenarnya.

Di samping itu, sebagaimana sering kali disebut-sebut, ujian nasional menjadi sumber penyebab terjadinya malpraktik dalam pendidikan kita. Evaluasi yang mestinya mengacu pada pembelajaran, dibalik menjadi pembelajaran yang mengacu pada soal-soal evaluasi (ujian nasional). Evaluasi yang seharusnya komprehensif, dalam praktiknya hanya menjaring kemampuan siswa dalam aspek kognitif, sementara aspek afektif (sikap) dan psikomotorik (keterampilan, skill) tidak digubris. Hasil evaluasi yang mestinya tak lebih dari sekadar gambaran atas kemampuan siswa, didewakan sebagai penentu masa depan.
Pada gilirannya, kenyataan inilah yang mendorong terjadinya berbagai kecurangan dalam pelaksanaan ujian nasional, mulai dari kebocoran soal, praktik perjokian hingga penggantian jawaban siswa oleh oknum panitia sendiri.

Dalam perspektif ini, meski saya berada dalam pihak yang tidak bisa berbuat apa-apa, saya tetap melihat pelaksanaan ujian nasional sebagai bentuk inkonsistensi dalam kebijakan pendidikan kita. Ujian nasional bukan hanya sebagai bentuk ketidakpercayaan terhadap profesionalisme guru, melainkan juga sebagai bukti sikap setengah hati dalam mengimpelementasikan KBK. Kalau KBK diyakini sebagai sebuah pembaruan dalam pendidikan kita yang akan mampu mendongkrak kualitas sumber daya manusia (SDM) kita, mengapa dalam pelaksanaannya mesti dijegal dengan kebijakan ujian nasional?

Berbagai Kontradiksi

Kalau dirunut ke belakang, sebenarnya masih banyak kontradiksi lain dalam kebijakan pendidikan kita. Salah satunya yang telah berlangsung begitu lama adalah pandangan terhadap arti pendidikan itu sendiri.
Dalam berbagai retorika, baik dalam masa kampanye pemilu maupun dalam upacara-upacara, sering disebut bahwa pendidikan itu sangat penting dan sangat strategis dalam konteks peningkatan kualitas SDM.

Akan tetapi, ketika berhadapan dengan konsekuensi akan kebutuhan dana yang besar, keyakinan kita seolah goyah. Pendidikan jadi sekadar cukup penting, agak penting, bahkan tidak begitu penting.
Bukti nyata akan hal ini adalah masih belum terealisasinya proporsi 20 persen APBN bagi anggaran pendidikan kita, meski kita telah merdeka lebih dari setengah abad. Alasan klisenya, dana kita masih belum memadai, atau kita akan memenuhi itu secara bertahap.

Padahal, kebijakan tentang proporsi 20 persen mestinya tak perlu menunggu uang kita banyak karena proporsi tidak bergantung pada total nilai APBN. Proporsi hanya ditentukan oleh variabel konsistensi terhadap keyakinan bahwa pendidikan memang penting. Selama keyakinan ini gampang goyah, tentu akan selalu berat untuk mewujudkan proporsi 20 persen itu. Bahkan ketika ketentuan itu telah secara eksplisit masuk dalam perundang-undangan, termasuk konstitusi sekalipun.

Begitulah, dunia pendidikan kita memang sarat dengan kontradiksi. Manajemen pendidikan katanya harus berbasis sekolah (ingat MBS), tetapi dalam pelaksanaannya kepala sekolah masih sangat bergantung pada kebijakan birokrasi di atasnya.

Guru katanya merupakan ujung tombak keberhasilan pendidikan, nyatanya, hingga kini nasibnya belum banyak yang terentas dari keterpurukan. Guru dituntut untuk senantiasa belajar meningkatkan kompetensinya, tetapi kenyataannya, kegiatan pelatihan cenderung hanya bernuansa proyek. Padahal, membeli buku, koran, dan majalah gajinya tidak cukup, apalagi mengakses internet.

Hemat saya, selama kita belum bisa konsisten, selama kebijakan-kebijakan pendidikan masih penuh dengan kontradiksi-kontradiksi, jangan harap akan terjadi lompatan signifikan terhadap kualitas pendidikan dan kualitas SDM kita.

Mulyoto Guru SMK Negeri 1 Pungging Mojokerto (Dimuat di Kompas, 13 Maret 2005)

Penerapan Kurikulum Berbasis Kompetensi Belajar dari Pengalaman SMK

MULYOTO

MENGANTISIPASI pemberlakuan kurikulum berbasis kompetensi di SLTP/SMU mulai tahun ajaran 2002/2003, ada baiknya kita belajar dari pengalaman sekolah menengah kejuruan (SMK). SMK yang lebih dulu melaksanakan kurikulum tersebut sejak tahun ajaran 1999/2001 tentu punya pengalaman berharga yang dapat dijadikan bahan rujukan.

Kurikulum berbasis kompetensi ternyata memang mempunyai beberapa kelebihan. Pertama, karakteristik individual siswa terakomodasi. Artinya, siswa yang cepat dalam menuntaskan belajarnya tanpa terhambat akibat menyesuaikan diri dengan yang lambat. Sementara siswa yang lambat tetap terlayani sesuai dengan kemampuannya dengan mengikuti pembelajaran remidi.

Ini bisa terjadi karena kurikulum berbasis kompetensi menggunakan sistem pembelajaran tuntas (mastery learning) dengan basis kompetensi. Siswa dituntut untuk menguasai suatu kompetensi secara tuntas (nilai enam ke atas). Yang belum tuntas harus mengikuti ulangan perbaikan. Bahkan, saat nilai sudah masuk dalam rapor, siswa tetap diberi peluang memperbaiki nilai, dan hasilnya dicantumkan pada kolom perbaikan dalam rapor.

Kedua, obyektivitas penilaian relatif terjamin. Guru tidak harus mengatrol nilai hanya supaya siswa dapat naik kelas. Guru tidak perlu rikuh memberi nilai tiga atau empat kalau memang kemampuan siswa pada suatu kompetensi memang rendah. Sebab, masih ada kesempatan bagi siswa untuk memperbaiki nilai melalui ulangan perbaikan. Bahkan, meski sudah naik kelas, siswa yang ingin memperbaiki nilai pada kelas sebelumnya tetap diberikan kesempatan.

Ketiga, kualitas lulusan akan relatif lebih baik. Dikatakan begitu, karena parameter keberhasilan belajar siswa dilihat dari basis kompetensi. Selama suatu kompetensi belum secara tuntas dikuasai siswa, maka siswa itu harus mengulang sampai diperoleh kemampuan dalam kategori tuntas. Apalagi dengan lebih obyektifnya sistem penilaian, siswa dipaksa untuk benar-benar menguasai suatu kompetensi.

Keempat, semua nilai yang tertera pada rapor tidak terbuang. Nilai rapor mulai semester I sampai VI, yang merupakan gambaran penguasaan siswa terhadap kompetensi yang pernah dipelajari, digabung dengan nilai evaluasi belajar tahap akhir nasional (ebtanas) dalam sebuah transkrip nilai. Dengan begitu, ukuran keberhasilan tidak lagi dilihat dari nilai ebtanas saja, melainkan menyeluruh. Ini akan memberikan data yang valid dan komprehensif tentang kemampuan lulusan. Di lain pihak, ini juga berperan untuk menciptakan persepsi yang proporsional terhadap nilai ebtanas, yakni sebagai salah satu saja dari sekian indikator keberhasilan belajar.

***

KENDATI begitu, harus diakui bahwa kelebihan-kelebihan tersebut belum dapat terwujud secara sempurna. Ada beberapa kondisi yang dirasakan cukup mengganggu keberhasilan pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi.

Pertama, masih ada guru yang tidak segera mengadakan ujian begitu suatu kompetensi selesai diberikan. Akibatnya, kemampuan siswa tidak segera diketahui, sehingga siapa yang tuntas dan siapa yang belum tuntas belajarnya untuk suatu subkompetensi belum bisa diketahui. Kondisi ini dirasakan sangat mengganggu pelaksanaan prinsip pembelajaran tuntas.

Kedua, masih ada guru yang belum bisa meluangkan waktunya untuk mengadakan program pembelajaran remidi dan pengayaan. Untuk melaksanakan program ini sebenarnya bisa dilakukan di luar jam pelajaran, namun ini menuntut biaya tambahan untuk uang lelah guru. Sementara ini, yang telah dilaksanakan oleh beberapa SMK, berdasarkan pengamatan penulis adalah siswa yang belum tuntas disuruh belajar sendiri dan diberikan kesempatan ulangan perbaikan. Payahnya, tidak semua siswa mampu untuk belajar mandiri. Maka, tak perlu heran kalau nilai ulangan perbaikan kadang tidak lebih baik daripada nilai sebelumnya.

Ketiga, budaya pengatrolan nilai masih bisa terjadi. Ini dilakukan oleh guru yang tidak ingin repot-repot harus mengadakan ulangan perbaikan,lebih-lebih untuk melaksanakan program remidiasi dan pengayaan. Selain itu, masih ada guru yang belum mampu untuk legawa menjadikan nilai siswa sebagai bahan refleksi untuk memperbaiki kualitas pembelajaran. Mereka takut, dengan memberikan nilai pada siswa secara apa adanya, justru akan menjadi bumerang bagi kredibilitasnya. Maka, ditempuhlah jalan pintas: pengatrolan nilai.

Itulah beberapa catatan dari sekitar tiga tahun pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi di SMK. Lagi-lagi, rekomendasinya adalah bahwa guru merupakan ujung tombak keberhasilan pendidikan. Agar kurikulum berbasis kompetensi mencapai tujuan yang diinginkan, kuncinya berada pada kesiapan, kemauan, dan kemampuan guru untuk melaksanakan kurikulum tersebut secara sungguh-sungguh.

MULYOTO Guru SMK Negeri 1 Pungging Mojokerto
Dimuat di Kompas. Senin, 1 April 2002