Mulyoto
Memang, hemat saya, pendekatan pembelajaran yang cocok dengan situasi jaman sekarang adalah pendekatan konstruktivistik. Dalam pendekatan ini anak didik akan menginternalisasikan nilai-nilai, sikap, perilaku, skill dan lain-lain melalui proses mengkonstruksi pengetahuan yang dimilikinya dengan menggunakan pengalaman, interaksi, bacaan dan segala sesuatu yang ada di sekitarnya.
Jadilah proses belajar berlangsung sangat alami, multiarah, dan bermakna (meaningfull), dan demokratis. Saya sudah lama sebenarnya berusaha menerapkan pembelajaran seperti ini, namun banyak kendala. Utamanya kendala dari sisi karakteristik mata pelajaran matematika yang deduktif sehingga saya sering terjebak dengan pembelajaran dengan pendekatan satu arah, yaitu pembelajaran langsung. Saya menulis di papan tulis, lalu saya terangkan, saya beri contoh soal, dan terakhir dilanjutkan dengan latihan.
Dengan cara seperti itu, pembelajaran berlangsung sangat efisien, to the point, dan serius: tidak gaduh. Tapi,akhir-akhir ini, saya merasa ada nuansa kejenuhan siswa terhadap saya dan mata pelajaran matematika. Untunglah baru-baru ini saya menemukan sebuah blog bagus dari Bapak Abdurahman Asy'ari yang memberi contoh kongkrit implementasi pembelajaran konstruktivistik dalam pembelajaran matematika. Ada semangat lagi untuk jadi guru konstruktivistik nih, pikir saya.
Saya coba dalam beberapa pertemuan terakhir pendekatan itu, tapi ternyata susah juga. Ini barangkali soal kebiasaan. Kebiasaan saya untuk to the point, untuk memberi secara langsung dan bahkan kebiasaan untuk merasa paling pandai di kelas. Maaf, kebiasaan untuk merasa paling pandai ini yang bahaya. Emang, namanya juga guru, kuliah S1 aja 5 tahun, lalu saya beruntung dapat beasiswa S2 matematika juga, masak kalah pandai dengan siswa. malu, dong.
Tapi kalau kepandaian lalu dipakai untuk menggurui dan membelajarkan siswa dengan gaya satu arah, saya merasa justru sebagai sebuah ironi. Saya akhir-akhir ini sadar, justru kepandaian saya harus saya tunjukkan dengan kemampuan saya dapat membelajarkan siswa, memotivasi siswa untuk belajar mandiri, dan memberi semangat siswa untuk menggali potensi siswa. Bukan justru saya pakai untuk mematikan potensi mereka!
Anak-anakku,maafkan aku, ya! Kalian berhak tumbuh berdasarkan jati diri kamu sendiri. Sedangkan saya hanya fasilitator, motivator, dan inspirator saja! Semoga!