Selasa, 07 September 2010

Penerapan Kurikulum Berbasis Kompetensi Belajar dari Pengalaman SMK

MULYOTO

MENGANTISIPASI pemberlakuan kurikulum berbasis kompetensi di SLTP/SMU mulai tahun ajaran 2002/2003, ada baiknya kita belajar dari pengalaman sekolah menengah kejuruan (SMK). SMK yang lebih dulu melaksanakan kurikulum tersebut sejak tahun ajaran 1999/2001 tentu punya pengalaman berharga yang dapat dijadikan bahan rujukan.

Kurikulum berbasis kompetensi ternyata memang mempunyai beberapa kelebihan. Pertama, karakteristik individual siswa terakomodasi. Artinya, siswa yang cepat dalam menuntaskan belajarnya tanpa terhambat akibat menyesuaikan diri dengan yang lambat. Sementara siswa yang lambat tetap terlayani sesuai dengan kemampuannya dengan mengikuti pembelajaran remidi.

Ini bisa terjadi karena kurikulum berbasis kompetensi menggunakan sistem pembelajaran tuntas (mastery learning) dengan basis kompetensi. Siswa dituntut untuk menguasai suatu kompetensi secara tuntas (nilai enam ke atas). Yang belum tuntas harus mengikuti ulangan perbaikan. Bahkan, saat nilai sudah masuk dalam rapor, siswa tetap diberi peluang memperbaiki nilai, dan hasilnya dicantumkan pada kolom perbaikan dalam rapor.

Kedua, obyektivitas penilaian relatif terjamin. Guru tidak harus mengatrol nilai hanya supaya siswa dapat naik kelas. Guru tidak perlu rikuh memberi nilai tiga atau empat kalau memang kemampuan siswa pada suatu kompetensi memang rendah. Sebab, masih ada kesempatan bagi siswa untuk memperbaiki nilai melalui ulangan perbaikan. Bahkan, meski sudah naik kelas, siswa yang ingin memperbaiki nilai pada kelas sebelumnya tetap diberikan kesempatan.

Ketiga, kualitas lulusan akan relatif lebih baik. Dikatakan begitu, karena parameter keberhasilan belajar siswa dilihat dari basis kompetensi. Selama suatu kompetensi belum secara tuntas dikuasai siswa, maka siswa itu harus mengulang sampai diperoleh kemampuan dalam kategori tuntas. Apalagi dengan lebih obyektifnya sistem penilaian, siswa dipaksa untuk benar-benar menguasai suatu kompetensi.

Keempat, semua nilai yang tertera pada rapor tidak terbuang. Nilai rapor mulai semester I sampai VI, yang merupakan gambaran penguasaan siswa terhadap kompetensi yang pernah dipelajari, digabung dengan nilai evaluasi belajar tahap akhir nasional (ebtanas) dalam sebuah transkrip nilai. Dengan begitu, ukuran keberhasilan tidak lagi dilihat dari nilai ebtanas saja, melainkan menyeluruh. Ini akan memberikan data yang valid dan komprehensif tentang kemampuan lulusan. Di lain pihak, ini juga berperan untuk menciptakan persepsi yang proporsional terhadap nilai ebtanas, yakni sebagai salah satu saja dari sekian indikator keberhasilan belajar.

***

KENDATI begitu, harus diakui bahwa kelebihan-kelebihan tersebut belum dapat terwujud secara sempurna. Ada beberapa kondisi yang dirasakan cukup mengganggu keberhasilan pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi.

Pertama, masih ada guru yang tidak segera mengadakan ujian begitu suatu kompetensi selesai diberikan. Akibatnya, kemampuan siswa tidak segera diketahui, sehingga siapa yang tuntas dan siapa yang belum tuntas belajarnya untuk suatu subkompetensi belum bisa diketahui. Kondisi ini dirasakan sangat mengganggu pelaksanaan prinsip pembelajaran tuntas.

Kedua, masih ada guru yang belum bisa meluangkan waktunya untuk mengadakan program pembelajaran remidi dan pengayaan. Untuk melaksanakan program ini sebenarnya bisa dilakukan di luar jam pelajaran, namun ini menuntut biaya tambahan untuk uang lelah guru. Sementara ini, yang telah dilaksanakan oleh beberapa SMK, berdasarkan pengamatan penulis adalah siswa yang belum tuntas disuruh belajar sendiri dan diberikan kesempatan ulangan perbaikan. Payahnya, tidak semua siswa mampu untuk belajar mandiri. Maka, tak perlu heran kalau nilai ulangan perbaikan kadang tidak lebih baik daripada nilai sebelumnya.

Ketiga, budaya pengatrolan nilai masih bisa terjadi. Ini dilakukan oleh guru yang tidak ingin repot-repot harus mengadakan ulangan perbaikan,lebih-lebih untuk melaksanakan program remidiasi dan pengayaan. Selain itu, masih ada guru yang belum mampu untuk legawa menjadikan nilai siswa sebagai bahan refleksi untuk memperbaiki kualitas pembelajaran. Mereka takut, dengan memberikan nilai pada siswa secara apa adanya, justru akan menjadi bumerang bagi kredibilitasnya. Maka, ditempuhlah jalan pintas: pengatrolan nilai.

Itulah beberapa catatan dari sekitar tiga tahun pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi di SMK. Lagi-lagi, rekomendasinya adalah bahwa guru merupakan ujung tombak keberhasilan pendidikan. Agar kurikulum berbasis kompetensi mencapai tujuan yang diinginkan, kuncinya berada pada kesiapan, kemauan, dan kemampuan guru untuk melaksanakan kurikulum tersebut secara sungguh-sungguh.

MULYOTO Guru SMK Negeri 1 Pungging Mojokerto
Dimuat di Kompas. Senin, 1 April 2002

Tidak ada komentar: