Senin, 20 Februari 2012
Pelajaran Berharga dari Pulau Solomon
MULYOTO
Penduduk di Pulau Solomon, ketika akan membuka lahan bercocok tanam di dalam hutan, konon tidak perlu menebang dan membakar hutan. Mereka cukup beramai-ramai mengitari tiap pohon sambil berteriak-teriak jorok, membentak dan berkata kasar. Dengan cara ini, ternyata selang beberapa hari sesudahnya pohon-pohonan layu, kering, mati, dan akhirnya tumbang.
Selama ini tanpa sadar kita mungkin telah ”membunuh” anak, baik anak kita sendiri maupun anak didik kita, dengan cara yang hampir sama dengan cara orang Solomon: membentak keras saat anak melakukan kesalahan, mengucapkan kata-kata kasar, dan memberi stigma buruk dengan kata bodoh, ceroboh, malas, dan sebagainya.
Maka jadilah anak-anak yang benar-benar bodoh, ceroboh, malas, dan lain-lain sebagaimana kita ucapkan.
Berhati-hatilah! Sebab rasanya tidak mungkin kita berniat ”membunuh” anak kita atau murid kita. Kita ingin mereka berkembang menjadi manusia dewasa yang mandiri, trampil, berkepribadian luhur, dan memiliki tanggung jawab. Tak mungkinlah kita berharap agar anak-anak kita menjadi ”layu”, dan akhirnya ”mati”.
Ketika kisah penduduk di Pulau Solomon ini saya share ke facebook saya, ada komentar teman yang mencoba menghibur saya: ”Ah, masak segitunya, Bang?”
Sepertinya, teman saya menganggap saya membesar-besarkan masalah. Memang, kisah yang saya ceritakan di atas mungkin terlalu dramatis, saya akui. Saya memang terpengaruh dengan sebuah dealog dalam film India berjudul ”Taare Zamen Par”. Tapi esensinya sangat penting dan realistis untuk kita implementasikan dalam pendidikan anak-anak kita.
Film ini mengisahkan seorang anak jenius tetapi mengalami kesulitan mengingat simbol angka maupun huruf. Huruf ”b” bertukar dengan huruf ”d”, huruf ”z” dengan ”s”, angka ”6” dengan angka ”9”, dan sebagainya. Ketika membaca buku, si anak jenius melihat huruf-huruf bergerak-gerak seperti menari-nari. Dia pun tertawa tanpa sepatah kata pun terucapkan. Lalu, guru menilainya sebagai anak bodoh, anak terbelakang, dan anak nakal.
Di rumah si anak mengalami kekerasan dari ayahnya dan membandingkannya dengan kakaknya yang selalu penurut dan juara pelajaran maupun olah raga.
Untunglah, ketika si anak diasingkan di sebuah sekolah berasrama, dia bertemu dengan sosok seorang guru yang humanis, sabar, empatik, nyeni, dan pernah mengalami kasus yang sama dengan si anak jenius. Di sinilah kemudian terungkap bahwa si anak ini mengalami kelainan bawaan yang bernama ”dislexia”. Dia jenius, tapi memang butuh perlakuan khusus.
Guru ini pun berhasil menolong anak jenius berkembang dengan kecerdasan melebihi anak-anak pintar di kelasnya, pada saat hampir saja anak itu mengalami depresi, putus asa dan ”mati”.
Ternyata, Albert Einstein, Leonardo da Vinci, Bill Gates, James Watt, Thomas Alfa Edison, Agatha Christy dan tokoh-tokoh lain dalam sejarah dunia adalah anak-anak ”dislexia”. Alangkah sayangnya kalau tokoh-tokoh yang banyak merubah dunia ini tak tertolong saat kecilnya. Dan mungkin banyak anak-anak seperti ini ada di sekitar kita.
Sebuah pencerahan bagi kita, baik sebagai orang tua maupun seorang guru: Terimalah anak-anak kita apa adanya. Bantulah mereka saat mengalami kesulitan, sugestilah dengan kata-kata positif, dan biarlah mereka berkembang sesuai jati dirinya. Tanpa kekerasan, tanpa kata-kata kotor, dan tanpa stigma buruk. Hentikan memvonis anak kita dengan kata ”dasar bodoh”, ”dasar malas”, ”dasar bandel”, dan sejenisnya!
Ada sebuah penelitian yang diceritakan Ajah Brahm, seorang Amerika lulusan Fisika yang memilih menjadi biksu di pedalaman hutan Thailand. Anak-anak satu jenjang pendidikan dibagi dua kelas, kelas A dan kelas B. Kelas A diberi label kelas unggulan dan kelas B diberi label kelas biasa. Tanpa sepengetahuan siapa-siapa (kecuali peneliti), anak-anak dalam kedua kelas itu sebenarnya pada awalnya dapat dikatakan homogen, atau tidak ada perbedaan yang siginikan. Sama-sama pintar, sama-sama cerdas. Lalu, keduanya diajar dengan guru-guru yang sama, metode yang sama dan fasilitas yang sama. Perbedaan perlakuan hanya pada pemberian label unggulan dan biasa.
Apa yang terjadi pada akhir tahun? Anak-anak dalam kelas unggulan ternyata memiliki prestasi yang benar-benar unggul, sementara anak-anak dalam kelas biasa, prestasinya juga biasa-biasa saja. Sebuah bukti ilmiah bahwa anak-anak akan menjadi yang seperti kita labelkan padanya.
MULYOTO, guru matematika SMK Negeri 1 Pungging Mojokerto.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar