Mulyoto M.
Mayang menatapku redup. Paras
cantiknya memutih seperti bunga lili yang sudah layu. Bibirnya yang biasanya merah-merekah,
kini tampak membiru.
“Bertahanlah, Mayang! Aku akan
mencari bunga pelangi di Hutan Larangan. Seperti yang diminta Tabib,” ujarku
sambil menggengam tangannya erat.
Istriku ini seorang bidadari. Dua
bulan lalu dia turun ke bumi bersama saudara-saudaranya ketika muncul pelangi di
langit senja yang menghubungkan kayangan dengan air terjun di atas bukit. Para
bidadari itu turun ke bumi karena ingin mandi di air terjun yang airnya bersih
dan jernih.
Saat itu aku mengendap-endap di
dalam semak sambil mencari cara agar aku bisa menyunting salah satu bidadari
itu. Tentu, aku tidak akan meniru caranya Jaka Tarub sebagaimana kisah yang
didongengkan Ibu saat aku kanak dulu. Menurutku, selain cara itu tidak gentle –mencuri selendang milik salah
satu bidadari- cara itu sudah tidak efektif. Nawang Wulan, istri Jaka Tarub,
yang sudah kembali ke kayangan, tentu sudah bercerita kepada para bidadari.
Atau mungkin dia malah sudah bikin buku: Hati-Hati dengan Selendangmu.
Tiba-tiba para bidadari berteriak.
Aku terkejut bukan main sehingga dengan refleks aku keluar dari persembunyianku.
Ada ular sangat besar, mendesis-desis dan menjulurkan lidahnya kepada para
bidadari. Aku memasang kuda-kuda di depan ular itu, sementara para bidadari
berteriak-teriak histeris di belakangku.
Ular itu maju menyerangku. Dengan
secepat kilat aku ngeles, lalu
memegang ekornya. Ular itu kuputar-putar, lalu kuhempaskan pada batang pohon
hingga kepalanya terbentur keras. Rupanya, seketika ular itu mati.
Para bidadari masih menjerit. Kali
ini mereka memegang tangan dan bahuku dari arah belakang. Mereka melongok
kepada ular dengan takut-takut.
“Sudah. Semua sudah aman,” ujarku.
Terus terang, aku grogi juga. Baru kali ini aku disentuh wanita. Apalagi yang
menyentuhku adalah para bidadari yang tapak tangannya begitu lembut.
“Siapa namamu, Kisanak?” tanya bidadari berkemben biru.
“Tejo. Sutejo,” jawabku.
“Sebuah nama yang bagus,” ujar
bidadari berkemben merah yang diiyakan oleh bidadari lainnya.
“Begini, karena Kisanak, maksudku Mas Tejo, telah menolong kami, kalau mau Mas Tejo
boleh menjadikan kami istri.
Siapa yang menolak? Batinku. “Semuanya?”
“He eh.” Semua bidadari mengangguk.
“Cukup satu saja,” ujarku. “Terus
terang, aku tidak bisa berbagi kasih dengan empat orang sekaligus. Dengan dua
orang saja, aku tak bisa.”
“Waduh, gimana ini?” tanya bidadari
berkemben kuning.
“Gimana kalau diundi saja?” usulku.
“Maksud Mas Tejo?” tanya bidadari
berkemben hijau.
“Begini, kalian berempat berdiri di
situ. Ketika aku memejamkan mata, posisi kalian boleh diacak. Dengan mata
tertutup, aku akan memilih satu di antara kalian,” jelasku. “Aku pasrah akan
dapat yang mana karena kalian semua cantik. Semua sama, tidak ada yang lebih
cantik satu dengan lainnya.”
“Setuju,” sahut para bidadari
serentak.
Maka, undian pun dilaksanakan. Aku
memilih tanpa menggunakan indikator, mungkin dari baunya, kehalusan kulitnya,
suaranya, atau apanya begitu. Karena bagiku, bisa menikah dengan bidadari -yang
sudah lama menjadi obsesiku- aku sudah merasa beruntung.
Tereng.
Begitu aku sudah mendapatkan
pilihanku, mataku aku buka. Bidadari berkemben biru tersenyum manis dengan
memegang dadanya. “Alhamdulillah. Terima kasih. Mas Tejo sudah memilihku.”
Bidadari itu langsung bergelayut di
bahuku. Tiga bidadari lainnya tampak kecewa, tapi hal itu segera dibuangnya
dengan memberi selamat kepada bidadari berkemben biru.
“Jadilah istri yang shalehah,
Adiku!” kata mereka satu per satu sambil menyalami bidadari berkemben biru
dilanjutkan dengan bercipika-cipiki.
Aku baru tahu, mereka berempat ternyata
bersaudara. Makanya, mereka mirip sekali?
Para bidadari memakai selendangnya
lalu terbang ke angkasa untuk kembali ke kayangan, kecuali bidadari berkemben
biru, tentunya. Mereka terbang menuju pelangi yang masih melengkung di langit
barat yang sudah berwarna jingga.
“Siapa namamu?” tanyaku.
“Mayang,” jawab bidadari itu dengan
suara lembut. Seperti suara Sembadra dalam pentas wayang kulit di rumah Pak
Lurah tempo hari.
***
Begitulah, berkat kegigihanku dengan
mendatangi air terjun tiap kali ada pelangi di atas bukit, akhirnya aku bisa
bertemu dengan para bidadari, lalu menikahi salah satu darinya. Hal yang selama
ini dianggap mustahil, termasuk oleh ibuku sendiri. Saat aku membawa Mayang ke
rumah, Ibu berkali-kali mencubiti lengannya, lalu mencubiti lengan Mayang. Ibu meyakinkan
dirinya, bahwa Ibu tidak sedang
bermimpi.
Dua bulan sesudah kami menikah,
Mayang tampak murung. Sebagai suami yang penuh pengertian, aku bertanya, “Ada
apa Mayang? Kok, Mayang kelihatan bersedih?”
“Mayang tidak bersedih, Mas Tejo.
Mayang hanya rindu pada Ayah dan Ibu!” jawabnya lirih.
“Oh, begitu?” tanyaku lagi.
“Ya,” jawabnya .
“Ya, sudah. Mayang jenguk saja Ayah
dan Ibu di kayangan, ya!”
“Bolehkah?”
“Tentu saja!”
“Terima kasih, Mas Tejo. Terima
kasih.”
Masih bisa terbang, kan?”
“Mudah-mudahan.”
Lalu Mayang mengambil selendangnya
di almari. Begitu selendang itu diikatkan di pinggangnya, ia pamit. “Mayang
berangkat, Mas Tejo!”
“Ya, jangan lama-lama, ya!” pintaku.
“Ya, Mas Tejo. Cuma satu hari saja.”
Tubuh Mayang terangkat. Akan tetapi,
ketika ia sudah berada pada ketinggian pohon kelapa, ia oleng. Ia tak mampu
menguasai diri. Tubuhnya menabrak pohon kelapa di depan rumah, lalu pohon
trembesi, dan akhirnya terjerembab ke tanah.
“Kenapa, Mayang? Apakah kamu sudah
lupa caranya terbang?”
Mayang tidak bisa menjawab. Napasnya
tampak begitu berat.
Hingga lima hari setelah peristiwa
itu, keadaan Mayang belum beruhah. Sudah empat tabib kudatangkan, namun belum
ada tanda-tanda kesemubuhan Mayang. Hingga tabib kelima memintaku untuk mencari
bunga pelangi di Hutan Larangan.
“Bunga itu hanya mekar di bulan
Januari, saat pelangi muncul usai gerimis,” jelas Tabib.
“Aku akan berangkat, Mayang!
Bertahanlah!” ujarku lagi.
***
Namanya saja Hutan Larangan. Tentu,
hutan ini belum pernah dijamah oleh manusia. Atau mungkin sudah pernah dijamah
manusia, tapi manusianya tidak pernah kembali.
Hutan ini benar-benar wingit.
Pohon-pohon berusia ratusan tahun berdiri tegar. Semak berduri tumbuh begitu
lebatnya. Suara-suara aneh terengar: suara burung yang terdengar asing di telingaku,
teriakan kera, lalu aungan srigala.
Ketika aku menjelajahi hutan sehari
lamanya, aku melihat bunga yang warna kelopaknya beraneka: merah, jingga,
kuning, ungu, hijau, biru dan ungu. Lengkap sekali. Semua warna yang ada pada
pelangi, ada di situ.
Aku segera mendekat dan akan
memetiknya ketika tiba-tiba muncul sosok seorang perempuan berkelebat. Meski
perempuan itu berpakaian ala pendekar, rona-rona kecantikannya kentara sekali.
“Eit, siapa yang berani akan memetik
bungaku? Bunga yang sudah setahun ini kutunggu kemunculanku?”
“Maaf, Mbak! Namaku Sutejo. Aku
sangat membutuhkan bunga itu untuk menyembuhkan istriku!” jawabku.
“Tidak bisa!” ujarnya tegas.
“Tolonglah, Mbak! Aku sangat
memerlukan bunga itu. Hidup-matinya istriku, sangat tergantung pada bunga ini!”
“TIDAK BISA.”
“Aku akan menempuh segala macam cara
untuk mendapatkan bunga ini.”
“Termasuk cara kekerasan?”
“Apa pun caranya.”
Tiba-tiba perempuan itu membabi buta
menyerangku. Benar, ia memang seorang pendekar. Itu terlihat dari jurus-jurus
yang ia perlihatkan.
Aku tidak pernah belajar ilmu silat.
Modalku untuk melawan pendekar itu hanya semangat yang dilandasi oleh rasa
cinta yang sangat besar kepada Mayang.
Setelah aku mampu meladeni
pertempuran dalam beberapa jurus, tonjokan perempuan itu bersarang di dadaku.
Aku jatuh tersungkur. Aku berusaha bangkit, tapi jatuh lagi.
Aku tetap merangkak untuk meraih
bunga pelangi, tapi perempuan itu menghentikan tanganku dengan menginjaknya.
Ia tersenyum sinis. Aku baru
menyadari, di balik paras cantiknya, tersembunyi hati yang sadis.
“Bagaimana, masih mau menempuh
segala cara?” tanyanya. Dia masih tersenyum sinis.
“Ya,” jawabku.
“Baik. Kalau begitu, kau boleh
mengambil bunga itu, lalu memberikan kepada istrimu. Setelah istrimu sembuh,
kau harus kembali ke sini untuk menikah denganku,” ujarnya sambil terbahak.
Tiba-tiba angin bertiup kencang.
Daun-daun kering beterbangan. Perempuan itu sedikit demi sedikit berubah
menjadi ular besar berkepala manusia.
Aku mundur beberapa langkah. Aku
baru menyadari, aku sedang berhadapan dengan siluman ular.
“Bagaimana? Kau setuju?”
Aku berpikir sejenak. Begitu aku ingat
Mayang yang merintih, aku gelap mata. “Baik, aku setuju.”
***
Aku segera membawa bunga pelangi
tujuh rupa, lalu memberitahu Tabib.
Setelah Tabib meminumakan air
rendaman bunga itu kepada Mayang, dan melulurkan bunganya ke wajah, tangan, dan
kakinya, Mayang bisa bergerak dan berbicara. Ia langsung memelukku.
“Terima kasih! Terima kasih, Mas
Tejo,” ujar Mayang.
“Ya, Mayang,” ujarku datar.
Tiba-tiba aku teringat akan janjiku
pada siluman ular.
Satu hari, dua hari, satu minggu,
dua minggu. Ketika genap satu bulan dan aku belum kembali ke Hutan Larangan,
siluman ular mencariku ke kampung.
“Hai, Tejo! Kau mengingkari janjimu,
ya?” tanya Siluman Ular geram.
Aku tak menjawab. Lalu menatap wajah
Mayang yang penuh tanda tanya. “Apa janji, Mas Tejo?”
“Aku berjajanji pada siluman ular,
kalau Mayang sudah sembuh setelah mendapatkan pengobatan dari bunga pelangi,
aku akan menyerahkan diri pada siluman itu,” jelasku.
“Mas Tejo. Lalu apa gunanya Mayang
sembuh, kalau Mayang harus kehilangan Mas Tejo?” ujar Mayang.
Aku memeluk istriku yang cantik itu.
Siluman Ular bertambah geram, lalu
ia menyembur kami. Ternyata, ia bisa menyemburkan api. Mulanya, api melalap
kami, tapi akhirnya api itu berbalik ke arah Siluman Ular. Api terus berkobar membakar Siluman Ular. Dia menggelepar-gelepar hingga akhirnya tewas.
Satu hal yang baru kami sadari
–mungkin juga baru disadari oleh Siluman Ular- perpaduan cinta kami
menghasilkan kekuatan dahsyat, bahkan lebih dahsyat dari kekuatan Siluman Ular
yang sakti mandraguna itu.[]
Mulyoto M dilahirkan di
Trenggalek, 19 Mei 1970. Alumni S1 Universitas Malang (1995) dan S2 ITS
Surabaya (2007) ini memiliki kompetensi utama sebagi guru matematika. Tapi,
akhir-akhir ini dia kesengsem dengan
dunia fiksi, khususnya kepenulisan cerpen. Laki-laki yang kini tinggal di
Mojokerto ini telah tergabung dalam beberapa antologi cerpen, antara lain:
Dewangga (Deka Publisher, 2013), Lelakiku, di Antara Hujan & Kenangan (Indie
Publishing, 2013), Mendung di Lereng Ungaran (Pustaka Nusantara, 2013), dan
Perempuan Berselendang Biru (Pustaka Nusantara, 2013).