Senin, 17 Maret 2008

Andai Ujian Nasional Ditiadakan

Mulyoto

Dalam sebuah pertemuan MGMP baru-baru ini, saya berdiskusi dengan teman sejawat. Guru ini mengajar di SMK swasta yang berada di bawah naungan sebuah pondok pesantren. Saya sangat terkesan pada orang ini karena dalam acara ngerumpi santai ini, dia selalu membawa nuansa agamis. Ketika kita ngobrol soal ujian nasional, temen kita ini berpendapat bahwa sampai kapan pun, dia akan membela yang namanya ujian nasional.
Alasannya bukan terkait dengan uang. Bukan karena ujian nasional merupakan proyek besar yang bernilai milyaran. Bukan itu alasannya untuk tetap berharap agar ujian nasional di pertahankan. Alasannya begini: ujian nasional adalah alat yang efektif untuk membuat anak tawadu' dan kembali ke jalan yang benar.
Dia bercerita, saat kelas II, anak-anak mencapai puncak kenakalannya. Setiap hari, kasus berkelahi, kasus bolos, dan kasus mokong terhadap guru, merupakan kejadian yang biasa. Itu sudah sego-jangan, katanya.
Tapi, ketika kelas III, mereka yang paling mokong dan paling mayak sekali pun berubah 180 derajat menjadi anak yang manis, gampang dinasehati, bahkan menjadi lebih khusuk ibadahnya. Soalnya, kalau sudah kelas III kok masih berandal, emangnya mau apa tidak lulus.
Saat siswa masuk di kelas III, kata teman saya, guru kembali berwibawa. Terutama guru mata pelajaran yang diujikan dalam ujian nasional. Guru yang tadinya dicuekin, kini kembali menerima haknya. Bahkan, malam-malam akan kebanjiran kiriman fatihah dari muridnya. Konon, murid-murid yang dengan ikhlas mengirimi fatihah kepada gurunya, ilmu sang guru akan lebih gampang masuk ke dalam diri sang murid. Memang tidak logis, tapi ini merupakan keyakinan yang yang cukup kuat dan membuahkan hasil. Mungkin bisa dijelaskan secara metafisis, saya kurang tahu.
Maka, bagaimana kejadiannya, kalau ujian nasional dihapus. Murid akan makin seenaknya. Mereka tidak perlu khawatir tidak lulus, karena kalau tidak ada ujian nasional, berarti kelulusan hanya ditentukan dari ujian sekolah. Dan yang ini gampang ditembus. Dijamin pasti lulus.
"Biarlah banyak orang, banyak pakar dan banyak ahli pendidikan ngomomg bahwa ujian nasional harus dihapuskan, tapi saya tetap akan membela sampai kapan pun," ujarnya.
Saya hanya manggut-manggut. Dalam diskusi tentang ujian nasional, saya biasanya selalu mngatakan bahwa ujian nasional itu batu penghalang bagi guru untuk memajukan siswanya. Guru mau mengasah aspek afektif, aspek psikomotorik, tidak hanya kognitifnya saja, tapi selama ini direcoki dengan yang namanya ujian nasional. Ya, mending fokus saja ke ujian nasional saja. Kenapa harus repot! Ini pendapat saya selama ini. Tapi, mendengar pendapat dari teman saya tadi, saya terus terang menjadi ragu.
Kalau ujian nasional benar-benar ditiadakan, bagaimana yang akan terjadi? Kalau bagi saya, saya akan menjai leluasa dalam memberikan pengalaman kepada siswa. Pengalaman yang memngasah kognisinya, ketrampilannya, dan afeksinya. Saya menjadi bebas memberikan pembelajaran matematika yang bermakna. Saya ajak siswa saya menyelami maematika dan membawanya ke dalam kejutan-kejutan yang menggairahkan. Matematika akan saya bawakan dalam citra penuh pesona, penuh makna. penuh nilai, dan penuh kikmah kehidupan. Tidak kering kerontang sebagagaimana soal demi soal ujian nasional. Itu yang akan saya lakukan!
Apakah saya bisa? Entahlah. Tapi yang saya tahu, ujian nasional hingga jini masih membelenggu saya. Saya masih tetap tidak bisa beranjak dari stagnasi: memperlakukan matematika hanya sebatas angka dan simbol kosong makna belaka. Dan selama ujian nasional, saya kembali akan menyaksikan kecurangan-kecurangan yang meracuni jiwa anak bangsa!
Bagaimana pendapat Anda? Silakan beri komentar, kita demokratis saja!

8 komentar:

Anonim mengatakan...

itu kompleks
ya, seharusnya ujian nasional ditiadakan saja?
UN berarti orientasi pend Indonesia hanya pada nilai, bukan pada kecerdasan mereka. padahal setiap orang memiliki kecerdasan berbeda (ada 7 kecerdasan lo)
bukan berarti orang yang pinter matematika or science itu yang terbaik. orang yang pinter kesenian, olahraga, berkomunikasi misalnya, juga orang cerdas dan patut LULUS.
thanks

i'm at www.i-know.co.cc

elbert mengatakan...

Saya seorang guru matematika SMA. saya kurang setuju jika un dihapuskan. Karena seperti yang dikatakan oleh guru pesantren diatas , kalau un sebagai penentu kelulusan ditiadakan maka siswa akan malas belajar, karena tidak ada target yang akan dicapai dan pemerintah tidak akan tahu sampai sejauh mana mata pelajaran yang di serap siswa. hal itu dapat dilihat perbedaannya ketika dulu dengan sekarang. dulu, ketika pemerintah belum menggunakan un sebagai standar kelulusan, para siswa kelsa 3 jarang kita dengar yang mau belajar meskipun dia sudah kelas 3, ada yang justru di suatu sekolah sering tawuran dengan sekolah lain. tetapi sekarang di media sering kita dengar bagaimana seorang siswa yang telah kelas 3 lebih mementingkan UN daripada kegiatan lainnya.Memang betul yang dikatakan pak mulyoto bahwa jika un tidak ada maka dia akan bebas membagi pengalamannya dengan siswa, atau matematika bukan masalah angka saja, tetapi terkadang ada siswa jika kita membagi pengalaman atau berbuat lelucon , mereka akan serius mendengar ketika kita bercerita tersebut, tetapi setelah kita memulai pelajaran tentang angka mereka menjadi lemas. jadi disitu juga kita menyemangati mereka bahwa matematika itu akan keluar di un nanti.Tetapi yang terpenting dalam penyelenggaraan UN ini adalah harus jujur, baik lembaga pemerintah, guru dan juga siswa. Jika tidak maka UN akan sia sia saja. Terimakasih

dhusada mengatakan...

pak mul, salam dari saya,dedy husada, murid bapak wkt mengajar di smp tnh tahun 1997

Unknown mengatakan...

Wah, Dedi Husodo akhirnya jadi guru kayak Pak Mul, ya. Ngajar di mana, Ded? Bisa sharing, ya?

Unknown mengatakan...

Itulah. Saya hanya guru, hanya bisa menyuarakan uneg-uneg, doang. Kalau ujian nasional tidak ada, memang guru menjadi penentu utama kualitas SDM. Guru yang bikin kurikulum, guru yang bikin RPP, guru yang memanage pembelajaran, dan guru juga yang menguji hasil belajar siswa. Sebenarnya, di tangan guru-guru yang profesional dalam arti yang sebenarnya, ini akan sangat bagus. Guru menjadi leluasa dalam menciptakan perjumpaan yang produktif dengan murid-muridnya. Tidak ada alasan siswa akan malas, kan guru punya segudang trik untuk membuat siswa betah belajar. Belajar bukan untuk mengejar angka-angka, tapi belajar untuk menjadi manusia dewasa, yang mandiri, yang tumbuh dari jati dirinya sendiri. Terus terang, saya ngeri ketika ujian nasional selalu dicurangi.

Eni Titikusumawati mengatakan...

Ass. wr. wb.
Sorii cak Mul telat nimbrungnya. Boleh berpartisipasi kan? kan...
Menurut saya, ada atau tidak adanya UN mungkin perlu dirembug secara lebih dalam lagi oleh orang-orang yang berkepentingan. Masalah yang ada di negri ini mungkin lebih pada kurang sesuainya kurikulum yang diterapkan dengan jenis(model) ujian nasional yang digunakan, sehingga terasa janggal jika dicermati.
Dalam kurikulumnya sudah fokus pada proses, tetapi evaluasinya seperti hanya fokus pada produk saja kurang pada proses. Mungkin itu saja. Wassalam. thanks cak...

dhusada mengatakan...

Saya sekarang mengajar di SMA katolik Stella Maris utk mapel Teknologi Informasi& Komunikasi. Bapak ada fs/facebook?

Unknown mengatakan...

stuju UN ditiadakan........

karena dengan adanya UN usaha pelajar selama 3 tahun, bisa jd sia-sia hanya karena UN yang hanya beberapa hari.......

dan dalam kenyataan nya, banyak orang pintar yang harus mengulang lagi selama 1 tahun hanya karena beberapa hari tsb......